Bismillah.
Aqidah adalah apa-apa yang diyakini oleh seorang insan di dalam hatinya. Apabila ia sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah maka itu adalah aqidah yang benar, dan apabila ia bertentangan dengan keduanya maka itu adalah aqidah yang batil.Ilmu aqidah adalah ilmu yang sangat penting. Hal ini bisa kita lihat dalam ayat-ayat al-Qur’an maupun di dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantara ayat yang menunjukkan pentingnya belajar aqidah adalah firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya. Apakah yang dimaksud ibadah? Para ulama menjelaskan bahwa ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai oleh-Nya, berupa perkataan dan perbuatan yang tampak dan tersembunyi. Ibadah itu akan diterima apabila dilandasi dengan aqidah yang benar dan tauhid yang murni.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Amal salih tanpa iman tidak berharga di hadapan Allah. Amal salih yang tercampur dengan syirik dan kekafiran akan sia-sia belaka. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang dahulu mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika mengutusnya untuk berdakwah ke Yaman, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Aqidah inilah yang menjadi muatan pokok dakwah Islam dari masa ke masa. Sehingga setiap rasul menyerukan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)
Begitu pentingnya aqidah ini sampai-sampai surat yang paling agung yaitu surat al-Fatihah memuat pokok-pokok aqidah ini dan diwajibkan untuk dibaca setiap hari di dalam sholat minimal tujuh belas kali dalam sehari semalam. Di dalam surat al-Fatihah inilah kita dikenalkan dengan sesembahan kita yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah yang menciptakan dan menguasai alam semesta. Allah yang memiliki sifat kasih sayang yang sangat luas. Allah yang merajai dan menguasai hari pembalasan. Di dalam surat ini pula kita diajari untuk memurnikan ibadah kepada Allah dan menggantungkan hati dan harapan kita kepada-Nya semata. Memohon kepada-Nya hidayah untuk bisa berjalan di atas kebenaran hingga ajal tiba.
Aqidah inilah yang terkandung di dalam dua kalimat syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Kalimat laa ilaha illallah mengandung makna penolakan ibadah kepada selain Allah dan menetapkan bahwa ibadah harus ditujukan kepada Allah semata. Kalimat anna Muhammadar rasulullah mengandung makna wajibnya mengikuti ajaran nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Memahami aqidah adalah kunci kebaikan seorang insan. Tanpa pemahaman tentang aqidah yang benar akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang-jurang syirik dan kekafiran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah pergi para pemuja dunia dari dunia ini dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling indah di dalamnya.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Wahai Abu Yahya, apakah sesuatu yang paling indah itu?” maka beliau menjawab, “Yaitu mengenal Allah ‘azza wa jalla.” Aqidah tauhid inilah yang akan menggerakan amal salih dan menegakkan pondasi ketaatan kepada Allah. Aqidah inilah yang akan membuahkan kebahagiaan dan keselamatan yang kekal dan abadi di akhirat nanti.
Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah berguna harta dan keturunan kecuali bagi orang-orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu’araa’ : 88-89). Hati yang selamat adalah hati kaum beriman, sedangkan hati kaum munafik itu sakit. Hati yang selamat adalah hati yang bertauhid kepada Allah. Oleh sebab itulah dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak di Mekah selama sepuluh tahun lebih memprioritaskan dan menekankan pemahaman tauhid kepada umatnya.
Dalil lain yang menunjukkan pentingnya aqidah adalah sebuah hadits yang dibawakan oleh para ulama di bagian awal kitab hadits mereka yaitu hadits dari Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai dengan niatnya. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan wajibnya ikhlas dalam seluruh amalan, bahwa Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang ikhlas karena-Nya. Memurnikan ibadah untuk Allah itulah yang dimaksud dengan ikhlas, dan inilah kaidah mendasar dalam hal tauhid.
Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan yang kecil menjadi besar karena niatnya. Dan betapa banyak amal yang besar menjadi kecil juga karena niatnya.” Hal ini menunjukkan bahwa keadaan hati mempengaruhi besar kecilnya pahala amalan. Semakin bersih niat dan keimanan seorang semakin besar pahala atas amalnya walaupun kelihatannya ringan atau sepele. Karena itulah disebutkan dalam hadits bahwa salah satu golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat ialah, “Seorang lelaki yang memberikan sedekah seraya menyamarkannya sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hal itu disebabkan dengan bersedekah secara rahasia lebih menjaga keikhlasan dan kelurusan niat pelakunya. Oleh sebab itu sebagian ulama berkata, “Orang yang ikhlas adalah yang berusaha untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia suka menyembunyikan keburukan-keburukannya.”